[A Reflection] If We Die, We Die, But First, We Live
06 April
2018
Jumat cerah di Jakarta, tidak ada
yang lebih istimewa dari mendapati salah satu manusia yang paling saya cintai
di muka bumi sedang berkunjung. Ibu saya datang memenuhi janjinya menemani saya
mencari kain di Pasar Mayestik. Di usia-usia seperempat abad seperti saya ini,
kegiatan mencari kain di Pasar Mayestik mungkin menjadi kegiatan yang sangat
berarti.
You find
yourself stranded among these piles of fabric with different colors and
textures; on the other corner you find your mother and your soon-to-be mother
chatting and laughing and choosing the right fabric for your big day. And there
exactly I was.
Ada rasa waswas mengetahui kegiatan pilih kain ini akan
bemuara pada sebuah gerbang yang disebut pernikahan. Not just a one day wedding, but a lifetime marriage. Tapi di atas
rasa itu, ada kebahagian yang memenuhi setiap senti dari keberadaan saya, yang
rasanya bisa tumpah kapanpun dia mau.
That, and
also a pain in my tummy.
Sejak Kamis malam, ada rasa pedih
yang cukup mengganggu di bagian perut yang membuat saya kesulitan untuk tidur.
Saya merapal doa dalam hati agar janji di hari Jumat esok bisa tetap saya
tepati.
09 April
2018
Pagi itu harusnya saya bangun pukul
lima dan bersiap berangkat kerja seperti hari Senin sebelumnya. Tapi rasa sakit
di perut yang mengganggu sejak minggu lalu belum mau hilang. Saya mengingat
rasa sakit serupa yang sempat saya rasakan di awal masa kerja. Anak rantau yang
selalu makan sembarangan, divonis keracunan makanan oleh dokter di klinik
kantor. Cukup dua kali minum obat yang diberi dokter tersebut, rasa sakit
hilang dan saya bisa menjadi normal seperti sedia kala.
Tapi sakit perut kali ini berbeda.
Membuat saya kesakitan tiap lima
menit, menyulitkan saya untuk menelan makanan, dan membuat saya terbaring di
kamar kos sejak hari Sabtu. Padahal sudah dua jenis obat diberikan oleh
dokter, yang memvonis saya kebanyakan makan roti sehingga perut saya penuh
ragi.
Pagi itu akhirnya saya putuskan
untuk mengunjungi instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit, berharap
dokter akan memberi obat lain yang lebih ampuh untuk membunuh rasa sakit di
perut. Alih-alih menulis resep untuk mengusir rasa sakit saya, dokter jaga memerintahkan
saya cek darah. Dari hasil darah tersebut, diketahui kadar hemoglobin dalam
darah saya terhitung rendah sehingga beliau menyarankan saya untuk rawat inap
dan mencari tahu apa yang menyebabkan hal tersebut.
09-17 April
2018
Seminggu ini saya habiskan di
sebuah rumah sakit sambil menjalani bermacam prosedur yang bagi saya sangat
asing. Alhamdulillah, selama 25 tahun usia saya, penyakit yang paling berat saya derita hanya flu saja. So the whole
thing about being admitted to the hospital was very unfamiliar to me. Dari
beberapa prosedur seperti USG dan CT Scan yang saya jalani, dokter menemukan
beberapa benjolan di usus saya. Belum habis rasa kaget dan bingung saya
mendengar kata ‘benjolan’, dokter bilang bahwa benjolan tersebut bisa jadi
hanya infeksi, or the worst case
scenario, a cancer cell.
Saya dan Ibuk bagai jatuh dari atap
gedung bertingkat di Jakarta. Oke, berlebihan. Tapi bayangkan, seminggu lalu
saya ada di Pasar Mayestik memilih kain untuk hari bahagia dan sekarang ada
kemungkinan saya hidup dengan sel kanker di dalam tubuh.
Dokter memutuskan untuk mengakhiri
masa rawat inap saya dengan prosedur Colonoscopy.
Dimana beliau mengambil sampel jaringan dari usus saya untuk mengkonfirmasi
makna benjolan yang tampak dari hasil scan. Saya meninggalkan rumah sakit
dengan harapan bahwa benjolan tersebut hanya infeksi yang akan segera sembuh. Jika
memang benjolan tersebut bukan infeksi, tentu baik bagi saya untuk tahu dan
segera mengusahakan kesembuhan. The
sooner the better, right?
25 April
2018
Seminggu setelah prosedur Colonoscopy, saya dan orang tua kembali
ke rumah sakit untuk mendengar hasil pemeriksaan. And as much as I hope this is not the reality, it is.
They found a
cancer cell in my colon.
Malam itu juga kami bertiga kembali
ke Jogjakarta. Ayah dan Ibuk berpendapat bahwa akan baik bagi saya untuk berada
di rumah dan berikhtiar untuk sembuh di Jogja. Mendadak saya hilang dari
kehidupan normal, saya tidak sempat pamit apalagi menjelaskan apa yang terjadi
saat itu. Sesulit apapun kenyataan tersebut kami cerna, kami harus terus
bergerak menuju kesembuhan.
26 April-24
Mei 2018
Hampir sebulan lamanya, kami
sekeluarga ‘pindah rumah’ ke RS Sardjito. Pada 27 April 2018, saya menjalani
operasi untuk mengangkat sebagian sel kanker yang ada di usus saya. Seminggu
lamanya saya menjalani pemulihan, sebelum dokter memutuskan perlunya operasi
kedua karena terdapat infeksi pada usus. 09 Mei 2018, saya berangkat ke meja
operasi, berusaha sepasrah mungkin berserah pada ketentuanNya.
Sebagai orang awam, tentu ada
pikiran bahwa I might not wake up after
the surgery. Saya berpamitan pada orang tua dan Adik saya. Bila Allah ingin
saya pulang kepadaNya, saya berdoa bahwa amalan saya cukup untuk menemani saya.
Bila Allah membangunkan saya, maka saya berjanji akan berjuang menuju
kesembuhan.
And he woke
me up. He told me to fight. So here I am, trying.
Dua bulan lebih, sejak kami
sekeluarga diberi ujian ini dan memulai perjuangan. It’s a long and blurry road, some might say. Tapi saya yakin bahwa
ketidaktahuan saya akan masa depan adalah tanda bahwa saya adalah
sebenar-benarnya hamba. Seorang hamba yang hanya bisa dan harus bisa berprasangka
baik kepadaNya.
How have I
been holding up?
Ada hari dimana saya merindukan rutinitas
masa lalu.
Hari dimana saya berjalan kaki ke
halte busway, membeli sarapan, dan bekerja di kubikel saya.
Ada hari dimana saya merasa
bersalah.
Sesekali saya bertanya apa yang
saya lakukan di masa lalu sehingga saya ada di sini hari ini, ketika saya
berharap bisa memperbaiki kesalahan tersebut.
Ada hari dimana saya merasa kecil
hati.
Seeing
other people make plans and go on with their lives.
Ada hari dimana saya merasa sedih.
Melihat orang tua saya terkadang meminta
maaf dan menyalahkan diri atas apa yang terjadi pada saya.
Ada hari dimana saya merasa takut.
Bagaimana jika saya harus pergi
lebih dulu sebelum saya memberi lebih banyak kepada dunia.
Tentu saja ada hari dimana saya
sangat bersyukur.
Mendapati keluarga yang selalu
mencintai saya dan membersamai perjuangan ini.
Ada hari dimana saya begitu
bahagia.
Berharap bahwa ujian ini Allah
berikan agar saya naik kelas. Bahwa ujian ini akan menjadi pengurang dosa saya sekaligus
penolong di akhirat kelak.
Ada hari dimana kata-kata tidak
pernah cukup untuk menuliskan apa yang saya rasakan.
Ketika saya benar-benar memaknai
bahwa Allah selalu dekat.
Bahwa Allah tidak akan memberi
ujian yang melebihi kemampuan hambaNya.
Bahwa Allah menyukai hamba yang
selalu berdoa dan meminta kepadaNya.
Bahwa setiap detik dalam hidup kita
ada kebaikan yang terus-menerus Allah perkenankan.
Bahwa kehidupan dan kematian adalah
sebuah keniscayaan dan hanya Allah yang punya hak prerogratif terhadapNya.
Bahwa selama Allah masih mengizinkan kita berada di bumi, kita harus berusaha sebaik
mungkin untuk menjalankan perintahNya, menjauhi laranganNya, dan memberi
manfaat untuk sesama.
If we die,
we die, but first, we live.
Comments
Post a Comment