Posts

Showing posts from June, 2012

Rindu Sendu yang Malu-Malu

Sejatinya kerinduan yang paling sendu adalah kerinduan terhadap masa lalu. Merindu pada hari-hari yang biru, merindu pada cinta melulu, merindu terkadang pada kita yang dulu.  Ingat masa kecil yang kamu habiskan dengan teman-teman ingusanmu? Berlarian sepanjang siang tak mau pulang bahkan setelah senja menjelang. Masa yang kamu habiskan sambil tertawa, menangis sebentar, lalu tertawa lagi karena memang begitulah cara kamu hidup, tak pernah redup. Kamu yang tak pernah meragu pada masa lalu apalagi segan pada masa depan. Kamu hidup untuk hari ini sambil mengajak imajinasi jungkir balik menggambar kebahagiaan sampai hari habis nanti. Ingat masa tanggung saat kamu selalu merenung? Mengapa kamu tak seindah mereka atau mengapa mereka tak peduli pada bagaimana rasamu. Kamu yang mempertanyakan untuk apa ada kemarin, hari ini dan hari esok. Bukannya menikmati hari yang Dia berikan, kamu tergesa berlari agar waktu cepat dihabiskan. Tengok kamu yang hari ini! Kamu yang mungkin belum dewasa
"Belajar hukum in a way mirip belajar beladiri. It empowers people. Memberi tahu sesuatu yang tadinya mereka tidak tahu. Orang-orang ini yang berhak memilih apakah pengetahuan itu akan dijadikan perisai untuk melindungi diri atau senjata untuk menyerang sana-sini." -obrolan dengan Bapak sehabis makan malam-
Tak pernah adil untuk bilang "Jangan marah ya" tepat setelah kita membuat orang lain marah. Tak pernah adil untuk janji akan tetap jadi teman yang setia dan bisa diandalkan tepat setelah kita berkhianat. - seorang teman yang dikecewakan -

Menyoal Mimpi

Ingat tidak apa mimpi kita waktu masih kecil? Atau paling tidak definisi pribadi kita soal apa itu mimpi? Waktu saya kecil, salah satu mimpi saya adalah untuk jadi artis. Waktu itu si Mbak sering mengajak saya nonton film-filmnya Suzanna, atau drama cinta dari India. Sinetron lokal yang main kala itu juga masih layak tonton kalau dari kacamata saya - ngga seperti apa yang disajikan di layar televisi belakangan ini. Menurut saya yang masih bocah kala itu, jadi artis tampaknya sangat menjanjikan. Memainkan lakon orang kota yang tinggal di rumah mewah, mobilnya banyak, pacarnya tampan dan seterusnya. Dulu, menjadi artis was on top of my wish list. Tapi semakin saya dewasa, selain kesadaran bahwa penampilan dan talenta saya sepertinya bukan untuk jadi artis, saya menyadari ada yang berubah dari pemahaman saya soal masa depan yang menjanjikan. Saya jadi merasa kalau jadi artis bukan satu-satunya jalan untuk jadi bahagia ataupun mengubah dunia. Meskipun sampai hari ini pun mata saya be

karena tak peduli

Kamu boleh melihat saya dengan tatapan merendahkan sebagaimana dari matamu terpancar Saya pun berhak memalingkan wajah karena tak peduli Kamu boleh membicarakan saya soal hal-hal yang mungkin tak seratus persen benar Saya pun berhak menutup telinga karena tak peduli Kamu boleh berpikir tentang betapa bodohnya saya dan bahwa saya tak mungkin jadi sepertimu Saya akan tetap menjadi seperti ini karena tak peduli Kamu boleh menertawakan saat-saat di mana saya gagal mencapai yang sudah saya mau sejak dulu Saya akan berdiri dan mencoba lagi karena tak peduli Kamu boleh pergi dan berlari sejauh-jauhnya sambil berpikir saya akan memintamu kembali Saya justru berjalan ke arah berlawanan karena tak peduli "Karena saya tidak peduli betapa mengagumkannya kamu pikir dirimu, saya berhak untuk jadi seribu kali lebih baik dari ukuranmu."