Menjadi Wanita yang Multidimensi
Membahas mengenai wanita dan segala lapisan yang
mengelilinginya, saya pikir hanya menjadi topik yang tiada habis-habisnya. Dari
mulai restoran-restoran hype yang bisa dicoba saat kencan
hingga vendor pernikahan yang helpful dan tetap affordable. Atau
menyoal fluktuasi harga cabai di pasar tradisional sampai merek gendongan bayi
dan variasi makanan pendamping ASI.
Tidak peduli seberapa pendiam seorang wanita, we enjoy
–if not love- talking about us being a woman and other women in general.
Di umur saya yang hampir seperempat abad ini, saya mulai
terlibat dalam banyak pembicaraan mengenai transisi dari menjadi seorang anak
menjadi seorang istri, dan lebih lanjut menjadi seorang ibu.
Some extremely serious stuff we’re about to go over,
aye?
Tentu teman-teman semua sudah berkali-kali mendengar
mantra “we all have our own timeline”, atau “we’re not
early, we’re not late, we’re very much on track” dan mantra-mantra
lain yang intinya mencoba meyakinkan kita bahwa semua berjalan baik-baik
saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Kamu bukan perawan tua jika belum menikah di umur 32, kamu boleh
mengejar gelar magister dan profesor sebelum menikah, kamu boleh memilih
menikah di usia relatif muda dan menjadi a stay at home mother. It is
all your choice, nobody gets the right to tell you when the right time is to
become something.
Meski demikian, di umur yang kurang atau lebih seperempat abad,
banyak teman dan kolega saya yang sudah terlebih dahulu memulai transisi anak
menjadi istri dan bahkan ibu. One big leap of faith, I must say. Di
tengah kerepotan saya mengatur pendapatan bulanan (berapa alokasi menabung,
berapa alokasi sandang pangan papan, berapa alokasi untuk jajan dan gaya hidup
:p), teman-teman saya ini dengan luar biasanya berpusing-pusing membagi berapa
untuk bayar cicilan rumah, berapa untuk keperluan anak, berapa untuk bayar
sekolah S2, dan berbagai biaya lain yang seolah tanpa ujung.
.
.
.
Di suatu sesi makan siang, saya melempar pertanyaan kepada
seorang sahabat saya : “Gaji kita sekarang cukup ngga ya buat menghidupi anak
kita nanti?”
Sahabat tersayang pun menjawab yakin : “Cukup Sis, OB kantorku
aja anaknya ada empat tapi tetap hidup bahagia.”
Saya hanya bisa menunduk malu sambil kembali menyendok nasi.
Pendapatan saya sekarang (ditambah pendapatan suami kelak) insya Allah cukup
untuk membiayai keluarga kami. Rejeki untuk semut saja sudah diatur, kenapa
saya sempat-sempatnya khawatir ya?
Seorang teman pernah datang kepada saya dengan sebuah teori.
Jika kita bisa mengurangi frekuensi jajan kopi kekinian dan nonton film di
bioskop, tentu membeli properti bukan hanya angan yang bisa diwujudkan oleh
mereka yang sudah kaya sejak lahir. Pasti pernah baca kan, studi-studi yang
menyatakan betapa harga rumah sudah melesat naik dan kemungkinan besar generasi
milenial seperti kita ini tidak akan mampu beli rumah. Padahal jika kita
mau disiplin belajar masak, tentu frekuensi makan dan jajan di luar bisa
ditekan dan pendapatan bisa dialokasikan ke pos kebutuhan yang lebih primer.
Easier said than done, I know. Seperti belum puas merasa
khawatir, saya mencetuskan pertanyaan lain : “Nah tapi kapan aku sempet belajar
masak ya?” Pikiran saya melesat cepat pada bayangan saya yang tiap weekend sibuk
nonton tv series di laptop instead of belajar
masak atau membekali diri dengan kemampuan berumah tangga yang lainnya :p
Sahabat saya dengan bijak menimpali : “Bisa Sis. Asalkan
perempuannya mau belajar dan laki-lakinya pengertian.”
Benar juga sih. Gordon Ramsay saja perlu sekolah kuliner dan
pengalaman masak bertahun-tahun untuk bisa menjadi maestro seperti sekarang.
Masa iya kita tidak bisa menerima partner yang baru bisa ngulek
sambel dan bikin ayam geprek?
“Tapi kayaknya temen kita si A baik-baik aja ya Sis, jadi working
mom tapi suami dan anaknya tetep happy. Mungkin
kantornya working mom friendly ya, bisa meeting sambil pumping,
bisa pulang tenggo buat jemput anak di daycare.
Susah juga kalau kantornya posesif, kapan mau masak dan ngurus keluarga?”
Lempar saya lagi. Memang ya, wanita (baca:saya), tidak ada
bosannya mengagumi pencapaian wanita lain lalu merasa ragu akan kemampuan diri.
“Iya, tapi bentar lagi mau resign terus lanjut
sekolah lagi tuh katanya...”
Mendengar fakta tersebut saya kembali merenung, sepertinya
mencapai puncak dalam setiap kategori sebagai istri, ibu, dan pekerja kantoran
menjadi sesuatu yang egois ya? Do we really want to have it all, at the
same time?
Kami berdua sama-sama terdiam sejenak, sebelum sahabat saya
berucap : “Memang wanita itu macam-macam pencapaiannya ya. Ada masa dimana kita
merasa berdaya ketika punya penghasilan kita sendiri dan membeli apapun yang
kita kehendaki. Tapi nanti akan datang masa dimana kita merasa bahwa
menghabiskan waktu dengan anak dan menyaksikan tumbuh kembangnya adalah sebuah
pencapaian sejati.”
Comments
Post a Comment