Belajar Menerima Kekalahan

Tulisan ini terinspirasi dari percakapan via telepon dengan Ayah saya.

Dalam percakapan tersebut Bapak sempat 'lupa' kalau hari ini hari Selasa.
"Udah dua hari cuti Kak. Berasanya hari Minggu terus." ujarnya.

Sambil malu-malu Bapak kemudian menceritakan kegiatannya selama cuti.
"Wah Kak dua hari ini Bapak ngutak-ngatik blog terus. Gitu banget ya kerjaannya?
Tapi ngerjain begituan aja Bapak seneng banget..."

Bapak bukan laki-laki paling macho maupun atletis sejagad raya.
Ketidakmampuan saya dalam berolah raga kemungkinan besar karena saya mewarisi gen Bapak.

Meski demikian, Bapak merupakan penikmat kelas berat olah raga mixed martial arts.
Sebuah laman Bapak dedikasikan untuk menuliskan kecintaannya pada dunia mixed martial arts.
Bapak yang pertama kali memaksa saya menulis, apapun yang saya suka.
Seperti Bapak menulis cerita berantem-beranteman di blog pribadinya.

Dalam percakapan via telepon tadi sore, Bapak terdengar sedih ketika menyebut nama Ronda Rousey. Bagi teman-teman yang belum mengenal Mba Ronda, beliau adalah alasan dibukanya women's division di The Ultimate Fighting Championship pada tahun 2013.

Sudah nonton Fast & Furious 7?
Nah, Mba berambut pirang dalam balutan gold dress yang berantem-beranteman di sebuah penthouse di Abu Dhabi itulah Mba Ronda Rousey.
Jangankan perempuan lembek kayak saya, laki-laki berotot yang tiap hari nongkrong di gym pun belum tentu berani lawan Mba Ronda.

Anyhow, apa hubungannya Mba Ronda dengan judul tulisan ini?
Seperti saya singgung di atas, Mba Ronda merupakan pionir petarung mixed martial arts wanita dengan rekor sempurna.
She was untouchable, selalu menang sejak pertandingan pertamanya sampai akhirnya bertekuk lutut di hadapan seorang fighter lain bernama Holly Holm pada akhir tahun 2015.
The fight was epic.

Pertandingan tersebut menjadi bukti bahwa kesempurnaan memang hanya milik Tuhan.
Sesakti-saktinya Mba Ronda, akhirnya ada wanita lain yang bisa mengalahkannya.

Kalah memang bukan hal yang menyenangkan.
Tapi setiap orang yang mengalami kekalahan tentu berharap untuk tidak mengulangi kesalahan sehingga bisa memenangkan pertarungan berikutnya.
Begitu juga dengan Mba Ronda.

Tapi toh untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Mba Ronda dipaksa menghadapi kenyataan pahit, kalah dalam 48 detik pertarungan dengan fighter lain bernama Amanda Nunes.
Sakit? Pasti.
Terpuruk? Bisa jadi.

"Gitu ya Kak. Kalo orang dilatih untuk menang tuh jadi kayak si Rousey...
Sekalinya kalah langsung jatuh banget, ngga tau gimana ngehandlenya."

Begitu kurang lebih pendapat Ayah saya atas kekalahan Mba Ronda.

Menarik ya, orang-orang yang terlatih untuk menang, belum tentu tahu bagaimana menghadapi kekalahan. Untuk teman-teman yang sudah punya anak, jangan lupa mengajarkan kepada si anak ya, bahwa di atas segala bentuk kemenangan, seorang manusia harus ingat kodratnya untuk sesekali kalah.

Menang kalah tidak hanya dalam konteks berkompetisi.
Dalam hidup setiap hari tentu ada kemenangan (misalnya dalam bentuk kemudahan-kemudahan) dan kekalahan (misalnya dalam bentuk kesulitan), kan?

Kebetulan waktu SMA dulu saya pernah mengikuti sebuah program pertukaran pelajar.
Untuk bisa mengikuti program tersebut, ada beberapa tahap seleksi yang harus diikuti.
Tidak jarang saya mendengar pertanyaan, "Gimana caranya bisa lulus, sih?" atau "Memang kandidat seperti apa yang dicari?" dari orang tua murid yang mendaftar program tersebut di tahun-tahun berikutnya.

Jujur saya tidak pernah tahu jawabannya.
Sampai suatu hari, senior saya -seorang psikolog yang wicaksana- memberi tahu saya.
"Kamu tahu orang seperti apa yang kita cari, Cha? 
Kita mau cari orang-orang yang pernah gagal. Orang-orang yang tahu what it feels like to be down there. Orang-orang yang bisa menerima nasibnya, bisa mengambil hikmah, lalu bisa move on and do good."

Dari statement tersebut saya menjadi sadar bahwa kegagalan dan kemampuan mengambil hikmah datangnya tidak selalu beriringan.
Tidak sedikit orang yang mengalami kegagalan lantas sibuk bertanya ada apa dengan dirinya.

Baru dapat nilai C sekali, langsung bertanya apa yang salah.
Baru ditolak beberapa interviewer saat cari kerja, langsung bertanya apa yang kurang.

Bertanya terus sampai lupa untuk mengambil hikmah dan melanjutkan hidup.
Bertanya terus sampai lupa bahwa Tuhan tidak wajib memberi alasan dari setiap kekalahan dalam hidup kita.

Untuk menutup tulisan ini, izinkan saya membagi kutipan pidato Michelle Obama di hari kelulusan mahasiswa City College of New York pada Juni 2016 yang lalu :

“Graduates, you all have faced challenges far greater than anything I or my family have ever experienced, challenges that most college students could never even imagine, some of you have been homeless. Some of you have risked the rejection of your families to pursue your education.
Many of you have laid awake at night wondering how on earth you were going to support your parents and your kids and still pay tuition. And many of you know what it’s like to live not just month to month or day to day, but meal to meal.
But, graduates, let me tell you, you should never, ever be embarrassed by those struggles. You should never view your challenges as a disadvantage. Instead, it’s important for you to understand that your experience facing and overcoming adversity is actually one of your biggest advantages.
Life will put many obstacles in your path that are far worse than a bad grade. You’ll have unreasonable bosses and difficult clients and patients. You’ll experience illnesses and losses, crises and setbacks that will come out of nowhere and knock you off your feet.
But unlike so many other young people, you have already developed the resilience and the maturity that you need to pick yourself up and dust yourself off and keep moving through the pain, keep moving forward. You have developed that muscle.”
.
.
.
Semoga saya dan teman-teman semua bisa ikhlas selalu ya dalam menerima berbagai bentuk ujian, cobaan, kesulitan, dan kekalahan dalam hidup. May we all be strong enough to keep moving through the pain and keep moving forward.
Inna ma'al usri yusra; indeed, with hardship (will be) ease.

Comments

Popular posts from this blog

The Perks of Being a Member of Working Class

It used to suck

On Perfect Marriage