Angkat Tangan
Pernah merasa gemas ingin angkat
tangan untuk jawab pertanyaan guru/dosen di kelas tapi urung karena malu?
Mungkin malu karena salah. Atau
malu karena akan terdengar sombong dan sok pintar. Atau malu karena
alasan-alasan konyol lainnya?
Saya sering.
Pada dasarnya saya tumbuh sebagai
seorang anak yang dididik oleh orang tua yang menurut saya sangat rendah hati.
Ayah saya sering bilang, kamu mungkin tahu tapi tidak semua orang perlu tahu
kalau kamu tahu. Bingung ya? Ya intinya Ayah saya sering berpesan untuk sering
manggut-manggut mendengarkan kalau ada orang yang berbicara. Jangan malah terlalu
sibuk bicara dan menyampaikan apa yang kamu tahu. Saya pikir ajaran tersebut
ada benarnya. Karena pertama, kita bisa lebih banyak belajar dengan cara mendengarkan
apa yang orang lain tahu. Itu sebabnya kita punya dua telinga untuk mendengar
tapi hanya satu mulut untuk berbicara kan? Alasan kedua karena bisa jadi apa
yang kita sampaikan hanya sekedar asumsi kita alias belum tentu benar.
Karena alasan-alasan tersebut,
ketika belajar di kelas saya merasa enggan sekali untuk mengangkat tangan dan
menjawab ketika dosen bertanya. Padahal mungkin di dalam hati saya jungkir
balik karena merasa tahu jawaban dari pertanyaan tersebut. Tapi
bayangan-bayangan bahwa jawaban saya mungkin salah, atau kalaupun jawaban
tersebut benar saya akan terlihat show off sering kali menahan saya untuk
akhirnya hanya berbisik-bisik berharap dosen mendengar jawaban saya.
Sesungguhnya saya benci seperti
ini. Saya juga benci karena hampir sebagian besar teman di kelas saya punya
pendekatan yang sama dalam berinteraksi dengan dosen di kelas. Saya selalu
ingat hari pertama belajar di kelas Biologi saat masa pertukaran pelajar saat
masa SMA dulu. Teman-teman saya di negara tersebut notabene masih duduk di
bangku SMP. –Ya, saya disarankan ambil kelas Pengantar Biologi untuk tingkatan
Freshmen supaya tidak mengalami kesulitan dalam belajar. Freshmen di Amerika
Serikat setingkat dengan kelas 3 SMP di Indonesia- Padahal waktu itu umur saya
sudah cukup untuk jadi siswa kelas 3 SMA, tapi ya tidak apa-apa toh tetap
belajar.
Saya pikir saya dulu akan jadi yang paling pintar di kelas karena
tentu saja saya sudah pernah pelajari apa yang akan kami pelajari di kelas
tersebut. Mungkin memang benar pada akhirnya saya paling pintar di kelas
tersebut. Tapi soal urusan jawab menjawab pertanyaan dari guru, saya kalah
telak dari teman-teman saya yang masih bocah itu. Selain kendala bahasa, saya
pikir kultur saya sebagai orang Indonesia yang cenderung rendah hati menjurus
rendah diri sangat menghambat kemajuan saya di kelas tersebut pada awal
semester.
Saya sendiri selalu kagum dengan teman-teman yang dengan percaya
dirinya berebutan menjawab setiap pertanyaan dari Ibu guru. Padahal kalau
dipikir lagi banyak jawaban yang asal, lucu, dan way out of the box. Tapi
mereka pede-pede saja tuh angkat tangan dan menjawab. Yang saya salut juga
guru-guru di sekolah saya itu –dan mungkin sebagian besar guru di negara dengan
kultur barat- bisa menciptakan suasana yang nyaman sehingga si anak tidak takut
mencoba atau berbuat salah. Atau mungkin memang anak-anak kultur barat
dibesarkan seperti itu. Berani mencoba dan tidak takut salah.
Saya senantiasa berdoa agar suatu
hari saya bisa menjadi pendidik. Entah dalam bentuk formal maupun informal.
Saya ingin bertemu dengan anak-anak yang takut salah atau takut dibilang sok
pintar bahwa it’s okay to say what you think. I want them to know that it’s
their responsibility to get involved in their learning process too instead of
just sitting and waiting to be fed by their teachers. Saya berharap pendidik-pendidik di Indonesia bisa benar-benar mendidik alih-alih sekedar mengajarkan.
Kamu pernah tidak berdoa seperti itu?