Menyoal Mimpi

Ingat tidak apa mimpi kita waktu masih kecil? Atau paling tidak definisi pribadi kita soal apa itu mimpi?

Waktu saya kecil, salah satu mimpi saya adalah untuk jadi artis. Waktu itu si Mbak sering mengajak saya nonton film-filmnya Suzanna, atau drama cinta dari India. Sinetron lokal yang main kala itu juga masih layak tonton kalau dari kacamata saya - ngga seperti apa yang disajikan di layar televisi belakangan ini.

Menurut saya yang masih bocah kala itu, jadi artis tampaknya sangat menjanjikan. Memainkan lakon orang kota yang tinggal di rumah mewah, mobilnya banyak, pacarnya tampan dan seterusnya. Dulu, menjadi artis was on top of my wish list.

Tapi semakin saya dewasa, selain kesadaran bahwa penampilan dan talenta saya sepertinya bukan untuk jadi artis, saya menyadari ada yang berubah dari pemahaman saya soal masa depan yang menjanjikan. Saya jadi merasa kalau jadi artis bukan satu-satunya jalan untuk jadi bahagia ataupun mengubah dunia. Meskipun sampai hari ini pun mata saya belum settle down untuk menentukan kemana kaki saya akan melangkah di masa depan yang keberadaannya sudah dekat ini.

Saya ingat waktu SD, ada seorang kakak kelas cantik yang sungguh menginspirasi saya. Anggaplah namanya Mawar. Waktu saya kelas 1, si Kak Mawar ini sudah kelas 5. Mawar ini selain cantik rupanya, baik hatinya, juga encer otaknya. Saya yang waktu itu masih kelas 1 dengan mantapnya menjadikan Mawar sebagai sosok idola. Saya harus bisa jadi seperti Mawar.

Suatu hari saat upacara bendera, Mawar kebetulan jadi pengibar bendera. Duh, bukan main terpesonanya saya pagi itu. Saya berjanji sebelum lulus dari sekolah ini saya akan mengibarkan bendera saat upacara paling tidak satu kali.

Lalu waktu berjalan dan saya akhirnya menempati posisi Mawar. Bukan, bukannya saya lantas diidolakan oleh seorang adik kelas. Tapi saya mendapat banyak kesempatan yang waktu itu Mawar dapat. Beberapa lomba yang dia ikuti, saya sempat ikuti. Beberapa pencapaian yang Mawar raih, saya juga raih meskipun bidangnya berbeda. Yang pasti adalah saya sempat mengibarkan bendera saat upacara Senin pagi seperti yang pernah Mawar lakukan.

What happens now? Bisik saya dalam hati.

Saya yakin ini common thing untuk semua orang. Setelah kita berhasil mencapai sebagian besar dari wish list kita; saat kita berhasil memberi makna pada definisi mimpi yang dulu kita buat. Lalu apa? Logikanya, kita -seharusnya- menulis definisi mimpi yang baru lagi. Mengatur langkah lagi untuk mencapai apa yang ada di wish list kita yang baru.

Sederhananya gini, waktu kita masih SMA trus melihat senior kita diterima di kampus idamannya pasti ada bagian dari diri kita yang berbisik : Kapan aku bisa kayak gitu? Kapan giliranku?

Nah, kalau pada akhirnya Tuhan berbaik hati menghargai usaha kita dan memasukan kita di kampus idaman, tentu goal kita akan berubah kan? Ngga mungkin kan kita terus-terusan memimpikan hal yang sama selamanya. Goal kita - tanpa kita sadari - akan jadi lebih tinggi lagi. Kalau sudah diterima di kampus idaman mungkin goal baru kita adalah untuk dapet IPK yang ciamik. Setelah tercapai mungkin kita bermimpi untuk jadi ketua BEM. Setelah menjabat jadi ketua BEM kita berharap bisa lulus tepat waktu meskipun sibuk. Dan seterusnya.

Jadi intinya, hidup ini adalah soal bermimpi lebih besar setiap hari.

Kalau ada yang bilang jangan bermimpi tinggi-tinggi karena 'jatuhnya' sakit nanti, saya cuma bisa bilang kalau secara normatif, semakin besar mimpinya harusnya semakin besar usaha untuk menjadikannya nyata. Ngga ada mimpi yang terlalu besar untuk diwujudkan, percaya?

"Pesimistik tidak lebih dari sikap takabur mendahului nasib." - Andrea Hirata -

Popular posts from this blog

The Perks of Being a Member of Working Class

It used to suck

On Perfect Marriage